Putusan Pengadilan
Militer Kasus Alastlogo Yang Tidak Berkeadilan Korban
KontraS
menyayangkan rendahnya putusan pengadilan militer dalam peristiwa kekerasan
di kasus Alastlogo. Apalagi majelis hakim juga memutuskan untuk tidak
menahan para terdakwa dengan alasan para terdakwa bersikap kooperatif. Jelas
bahwa Pengadilan Militer untuk peristiwa pidana bukanlah mekanisme yang efektif
karena dalam kenyataaannya justru melindungi para terdakwa sehingga tidak dapat
memenuhi keadilan bagi korban.
Pada
14 Agustus 2008 Mejelis Hakim Pengadilan Militer III Surabaya telah memutuskan
13 prajurit TNI AL bersalah melakukan penyerangan dan penembakan kepada warga
Desa Alastlogo pada tanggal 31 Mei 2007. Akibatnya, 4 orang tewas dan 8 orang
mengalami luka-luka. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara selama 1-3 tahun.
Berdasarkan
hasil investigasi, KontraS telah menemukan adanya dugaan perisitiwa pelanggaran
HAM berupa insiden penyerangan dan penembakan terhadap masyarakat sipil di
Alastlogo. Kami menemukan fakta bahwa aparat TNI AL mengancam warga dengan
menyatakan bahwa mereka mendapatkan perintah atasan untuk menindak warga yang
ngotot menghentikan kegiatan penggarapan PT. Rajawali Nusantara. Aparat juga
mengancam akan menembak itempat warga, jika terus bergerak maju menuju
lokasi kegiatan penggarapan PT. Rajawali Nusantara.
Hasil
pemantauan persidangan yang dilakukan oleh KontraS Surabaya menemukan beberapa
permasalahan serius. Pertama, persidangan tidak menyiapkan
fasilitas penerjemah kepada para saksi warga yang kurang lancar berbicara
bahasa Indonesia.
Kedua, Majelis hakim membiarkan upaya penasehat hukum terdakwa yang
kerapkali membatasi saksi korban untuk memberikan kesaksian, Ketiga, dangkalnya
kualitas dakwaan dan tuntutan pidana kepada 13 terdakwa pelaku penembakan,
yakni hanya menggunakan ketentuan Pasal 170 (penganiayaan) ayat 1 dan 2
KUHP sebagai dakwaan primer, lalu ketentuan Pasal 338 (pembunuhan) juncto Pasal
55 ayat 1 KUHP sebagai dakwaan alternatif, khusus terhadap Lettu Budi Santoso
didakwakan Pasal 103 ayat 1 KUHP Militer sebagai dakwaan alternatif kedua. juga
memperkuat fakta – fakta temuan di persidangan.
Meskipun
demikian, majelis hakim telah menghadirkan saksi ahli yang menyatakan bahwa
penembakan dilakukan secara sengaja dan menunjuk langsung kepada masyarakat
sipil. Namun hal ini justru tidak menjadi pertimbangan dalam putusan majelis
hakim.
KontraS
menilai putusan majelis hakim telah menegasikan pertanggungjawaban komando
dalam peristiwa tersebut. Temuan fakta lapangan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban
komando semestinya menjadi tanggung jawab Komandan Pusat Latihan tempur Marinir
Grati, Mayor Husni Sukarwo dan Komandan Korps Marinir Mayjen Safzen Noerdin.
Namun Mayor Husni hanya dibebastugaskan dari jabatan tanpa menjalani proses
pemeriksaan di pengadilan, sementara Mayjen Safzen digantikan oleh Mayjen Nono
Sampono.
Hal
tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa Pengadilan Militer tidak mampu
menjangkau para tersangka para pemangku jabatan komando. Kami kembali
menegaskan bahwa Komnas HAM harus melakukan penyelidikan pro justicia
untuk kasus ini. Apalagi sebelumnya tim pemantauan komnas HAM secara tegas
dalam rekomendasi laporannya menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM
serius pada peristiwa Alastlogo. Komnas HAM juga berkesimpulan bahwa peristiwa
tersebut bukan hanya berupa insiden penyerangan dan penembakan tetapi juga
mencakup aksi kekerasan lainnya seperti pemukulan dan penyanderaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar