Selasa, 27 November 2012

tugas peradmil


Putusan Pengadilan Militer Kasus Alastlogo Yang Tidak Berkeadilan Korban
 
KontraS menyayangkan rendahnya putusan pengadilan militer dalam peristiwa kekerasan di  kasus Alastlogo. Apalagi majelis hakim juga memutuskan untuk tidak menahan para terdakwa dengan alasan para terdakwa bersikap kooperatif. Jelas bahwa Pengadilan Militer untuk peristiwa pidana bukanlah mekanisme yang efektif karena dalam kenyataaannya justru melindungi para terdakwa sehingga tidak dapat memenuhi keadilan bagi korban.
Pada 14 Agustus 2008 Mejelis Hakim Pengadilan Militer III Surabaya telah memutuskan 13 prajurit TNI AL bersalah melakukan penyerangan dan penembakan kepada warga Desa Alastlogo pada tanggal 31 Mei 2007. Akibatnya, 4 orang tewas dan 8 orang mengalami luka-luka. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara selama 1-3 tahun.
Berdasarkan hasil investigasi, KontraS telah menemukan adanya dugaan perisitiwa pelanggaran HAM berupa insiden penyerangan dan penembakan terhadap masyarakat sipil di Alastlogo. Kami menemukan fakta bahwa aparat TNI AL mengancam warga dengan menyatakan bahwa mereka mendapatkan perintah atasan untuk menindak warga yang ngotot menghentikan kegiatan penggarapan PT. Rajawali Nusantara. Aparat juga mengancam  akan menembak itempat warga, jika terus bergerak maju menuju lokasi kegiatan penggarapan PT. Rajawali Nusantara.
Hasil pemantauan persidangan yang dilakukan oleh KontraS Surabaya menemukan beberapa permasalahan serius.  Pertama, persidangan tidak menyiapkan fasilitas penerjemah kepada para saksi warga yang kurang lancar berbicara bahasa Indonesia. Kedua, Majelis hakim membiarkan upaya penasehat hukum terdakwa yang kerapkali membatasi saksi korban untuk memberikan kesaksian, Ketiga, dangkalnya kualitas dakwaan dan tuntutan pidana kepada 13 terdakwa pelaku penembakan, yakni hanya menggunakan ketentuan Pasal 170  (penganiayaan) ayat 1 dan 2 KUHP sebagai dakwaan primer, lalu ketentuan Pasal 338 (pembunuhan) juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP sebagai dakwaan alternatif, khusus terhadap Lettu Budi Santoso didakwakan Pasal 103 ayat 1 KUHP Militer sebagai dakwaan alternatif kedua. juga memperkuat fakta – fakta temuan di persidangan.
Meskipun demikian, majelis hakim telah menghadirkan saksi ahli yang menyatakan bahwa penembakan dilakukan secara sengaja dan menunjuk langsung kepada masyarakat sipil. Namun hal ini justru tidak menjadi pertimbangan dalam putusan majelis hakim.  
KontraS menilai putusan majelis hakim telah menegasikan pertanggungjawaban komando dalam peristiwa tersebut. Temuan fakta lapangan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban komando semestinya menjadi tanggung jawab Komandan Pusat Latihan tempur Marinir Grati, Mayor Husni Sukarwo dan Komandan Korps Marinir Mayjen Safzen Noerdin. Namun Mayor Husni hanya dibebastugaskan dari jabatan tanpa menjalani proses pemeriksaan di pengadilan, sementara Mayjen Safzen digantikan oleh Mayjen Nono Sampono.
Hal tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa Pengadilan Militer tidak mampu menjangkau para tersangka para pemangku jabatan komando. Kami  kembali menegaskan bahwa Komnas HAM harus melakukan penyelidikan pro justicia untuk kasus ini. Apalagi sebelumnya tim pemantauan komnas HAM secara tegas dalam rekomendasi laporannya menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM serius pada peristiwa Alastlogo. Komnas HAM juga berkesimpulan bahwa peristiwa tersebut bukan hanya berupa insiden penyerangan dan penembakan tetapi juga mencakup aksi kekerasan lainnya seperti pemukulan dan penyanderaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar