Selasa, 27 November 2012

perlindungan konsumen


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Definisi hak asasi manusia menurut para ahli antara lain John Locke menyatakan macam-macam Hak Asasi Manusia yang pokok adalah Pengertian Hak Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah- Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hokum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM meliputi :
1. Kejahatan genosida;
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1. Membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4.  memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau
10. kejahatan apartheid.
Pelanggaran Hak-Hak Konsumen Pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia merupakan hal yang jamak, masih kita jumpai sehari-hari kasus keracunan makanan dan kecelakaan yang menempatkan konsumen sebagai korban. beberapa sebab terjadinya pelanggaran hak konsumen adalah rendahnya tanggung jawab pelaku usaha, tidak maksimalnya regulasi pemerintah, dan mandulnya penegakkan hukum. pelanggaran hak-hak konsumen dapat berupa pelanggaran bersifat substantif maupun prosedural sebagaimana diatur dalam UU Perlinungan Konsumen atau berbagai UU sektoral.



Tujuan Penulisan Makalah
            Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui seberapa pentingnya perlindungan akan hak – hak seseorang dalam hal ini bertindak sebagai seorang konsumen serta bagaimana penyelesaian ketika hak seorang konsumen itu dilanggar serta siapa yang berwenang menyelesaikannya.
Penulisan makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas Uji Kompetensi Dasar 1 Mata Kuliah Hukum dan HAM kelas C dengan Dosen Pengampu Bapak Achmad.

Rumusan Masalah
1.      Apa sajakah hak seseorang dalam hal ini bertindak sebagai seorang konsumen ?
2.       Bagaimanakah penyelesaian ketika hak seorang konsumen itu dilanggar serta siapa yang berwenang menyelesaikannya ?




























BAB II
PEMBAHASAN

Hak-hak seseorang sebagai konsumen antara lain meliputi :
1. Hak Atas Kenyamanan, Keselamatan dan Keamanan
Bagi konsumen hak ini harus mencakup aspek kesehatan secara fisik, dan dari perspektif  keamanan ketika bertransaksi atau penggunaan.
2. Hak Untuk Memilih
Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih barang dan jasa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, barang yang beredar di pasar haruslah terdiri dari beberapa merek untuk suatu barang, agar konsumen dapat memilih.
3. Hak Atas Informasi
Bisa dipenuhi dengan cara antara lain, melalui diskripsi barang menyangkut harga dan kualitas atau kandungan barang dan tidak hanya terbatas informasi pada satu jenis produk, tetapi juga informasi beberapa merek untuk produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa membandingkan antara satu merk dengan merk lain untuk produk sejenis.
4. Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya
Ada dua instrumen dalam mengakomodir hak untuk didengar:
·        Pemerintah melalui aturan hukum tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka dengan konsumen
·        Melalui pembentukan organisasi konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Hak untuk didengar menuntut adanya organisasi konsumen yang mewakili konsumen.
5. Hak Untuk Mendapatkan Advokasi
Dengan hak ini, konsumen mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial. Hak ini dapat dipenuhi dengan cara:
·        Konsultasi hukum, diberikan pada konsumen menengah ke bawah. Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh organisasi konsumen dan atau instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan konsumen
·        Menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class action)
·        Adanya keragaman akses bagi konsumen individu berupa tersedianya lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap pemerintah kota / kabupaten.
6. Hak Untuk Mendapat Pendidikan
Definisi dasar hak ini adalah konsumen harus berpendidikan secukupnya, dapat dilakukan baik melalui kurikulum dalam pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pemenuhan hak untuk mendapat pendidikan juga menjadi kontribsi dan tanggung jawab pelaku usaha.
7. Hak Untuk Tidak Diperlakukan Secara Diskriminatif Tindakan diskriminatif secara sederhana adalah adanya disparitas, adanya perlakukan yang berbeda untuk pengguna jasa/produk, dimana kepada konsumen dibebankan biaya yang sama. Oleh karena itu adanya pelaku usaha yang menyediakan beberapa sub kategori pelayanan dengan tarif yang berbeda-beda, susuai dengan tarif yang dibayar konsumen tidak dapat dikatakan diskriminatif.
8. Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan si pelaku usaha tersebut. Bentuk ganti eugi dapat berupa:
Ø      pengembalian uang
Ø      penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya
Ø      perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan (pasal 19 Ayat (2) UUPK).
9. Hak Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan Lainnya Selain hak-hak yang ada dalam UU PK, dalam UU lain juga diatur hak-hak konsumen, seperti UU Kesehatan. Oleh karena itu dimungkinkan adanya hak konsumen tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing.

Contoh Kasus Pelanggaran Hak Konsumen

Patut diduga banyak kasus malpraktek Korps Kedokteran yang dilakukan dan merugikan konsumen lewat begitu saja tanpa penyelesaian. Konsumen selalu berada pada posisi lemah karena patut diduga ketidaktahuan konsumen terkait dengan seluk beluk kesehatan dan obat-obatan menjadi penyebab utama. Apapun kata dokter atau RS, konsumen akan mengamini saja demi kesembuhan penyakitnya.
Masih teringat di ingatan mengenai kasus Prita vs RS Omni International yang menghebohkan sepanjang tahun 2009 lalu di mana hak konsumen begitu disia- siakan dengan berbagai alasan, termasuk tidak diberikannya rekam medis saat diminta konsumen. Sesuai Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, rekam medis merupakan hak konsumen atas informasi yang harus diberikan oleh RS kepada pasiennya setelah pasien membayar semua biaya yang diminta oleh RS.
Kasus Prita mereda, sekarang muncul kasus AB Susanto (ABS), Managing Partner dari The Jakarta Consulting Group. ABS melawan RS Siloam International, Karawaci. Kasus ini pada akhirnya sudah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 15 Juli 2009 dengan No. 237/ Pdt/6/2009/PN.Jk.Ut., setelah gagal diselesaikan secara non litigasi.
Meskipun UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah berlaku sejak April 2000, tetapi hak konsumen masih limbung melawan kepentingan ekonomi pelaku usaha. Dari sekian banyak jenis atau sektor usaha, usaha jasa kesehatan merupakan salah satu sektor yang paling parah merugikan konsumen karena bias fatal akibatnya. Namun konsumen sering tidak merasa kalau dirugikan. Korps Kesehatan, khususnya dokter dan Rumah Sakit (RS), sejak awal merupakan para pihak yang menentang sangat keras pemberlakuan UU No 8/1999 tersebut.
Mereka, khususnya dokter, tidak mau dianggap sebagai pelaku usaha. Untuk itulah kemudian mereka ngotot mempengaruhi DPR RI dan pengambil kebijakan untuk membuat sendiri UU yang melindungi mereka dari serangan konsumen, yaitu UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

Contoh Kasus Konsumen yang mendapatkan Barang yang sudah tidak layak pakai

Meski memiliki kewenangan dalam memutuskan sengketa antara konsumen dengan penyedia jasa atau barang, BPSK mengambil putusan secara proporsional dengan berdasarkan pada UUPK. Contoh, ada konsumen yang mengadukan produk roti kepada BPSK. Konsumen tersebut menuntut ganti rugi hingga Rp 250 juta. Saat perkara itu disidangkan oleh Majelis Hakim BPSK, pengusaha roti hanya dijatuhi putusan mengganti rugi roti yang telah dibeli konsumen seharga Rp 5.000,00. Anggota BPSK yang menangani kasus roti tersebut, konsumen membeli roti yang diobral karena akan kedaluwarsa keesokan harinya. Memang saat itu pihak penjual memajang roti dengan harga agak tinggi untuk yang masih panjang masa konsumsinya dan harga obral untuk roti yang kedaluwarsa.
Pihak penjual berupaya melakukan jalan damai dengan sang konsumen dengan memberikan ganti rugi dan sebentuk bingkisan, namun pihak konsumen menolak langkah itu dan memilih menggugat produsen roti termasuk mengajukan tuntutan ganti rugi senilai Rp 250 juta.
Setelah persoalan itu ditangani BPSK, putusannya adalah mengganti roti yang telah dibeli konsumen dengan roti sejenis yang masa kedaluwarsanya masih panjang .

Contoh kasus penarikan paksa kendaraan oleh perusahaan anjak piutang (leasing) yang pembayaran cicilannya terlambat beberapa bulan.

Konsumen bisa mengadu ke BPSK karena pihak leasing tidak berhak menarik paksa kendaraan. Aparat yang berwenang menarik atau menyita barang adalah juru sita atau polisi yang dikuatkan dengan putusan hukum. Kasus yang pernah diselesaikan dalam kaitan tunggakan kredit kendaraan bermotor, yaitu mobil diambil kembali, sementara uang cicilan yang sudah dibayar konsumen dikembalikan dipotong biaya administrasi.Batas waktu pengaduan Tidak semua kasus bisa diselesaikan, terutama untuk kasus yang dilaporkan lewat dari empat tahun sejak tanggal transaksi. Semisal konsumen yang membeli perhiasan emas, belakangan diketahui tidak seluruh perhiasan itu terbuat dari emas. Pada bagian dalam perhiasan itu terbuat dari logam biasa, namun konsumen membayar seluruh berat perhiasan itu dalam hitungan harga emas. Pengaduan konsumen itu telah lewat dari empat tahun sejak dia membeli perhiasan tersebut. Maka dia tidak dapat mengadukannya ke BPSK.

Dasar Hukum
Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bab XI pasal 49 sampai dengan pasal 58. Pada pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil (small claim court) yang melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan secara cepat, sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam waktu maksimal 21 hari kerja ( lihat pasal 55 UU. No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ), dan tanpa ada penawaran banding yang dapat memperlama proses pelaksanaan keputusan ( lihat pasal 56 dan 58 UU. No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ), sederhana karena proses penyelesaiannya dapat dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa, dan murah karena biaya yang dikeluarkan untuk menjalani proses persidangan sangat ringan. Keanggotaan BPSK terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha, yang masing-masing unsur diwakili oleh 3-5 orang, yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Pasal 49 ayat (3) dan ayat (5)).

Tugas dan wewenang

Tugas dan wewenang BPSK berdasarkan ketentuan Pasal 52 meliputi:
1.      melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
2.      memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
3.      melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4.      melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;
5.      menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
6.      melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
7.      memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
8.      meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;
9.      mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
10.  memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
11.  memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
12.  menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Untuk menindaklanjuti ketentuan undang-undang tersebut, Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI telah mengeluarkan SK No. 350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan, dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang (Pasal 4). Metode penyelesaian kasus sengketa antara konsumen dan pelaku usaha ada tiga yaitu konsiliasi, mediasi atau arbitrase.

Prosedur

Prosedurnya cukup sederhana. Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK Provinsi di mana mereka berada dengan membawa permohonan penyelesaian sengketa, mengisi form pengaduan dan juga berkas-berkas/ dokumen yang mendukung pengaduannya . Pihak-pihak yang berperkara di BPSK tidak dikenai biaya perkara alias gratis.


Sementara biaya operasional BPSK ditanggung APBD. Selain bebas biaya, prosedur pengaduan konsumen pun cukup mudah, yaitu hanya membawa barang bukti atau bukti pembelian/pembayaran, dan kartu identitas (KTP). Formulir pengaduan disediakan di sekretariat BPSK. Pihak BPSK lalu akan melakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna dipertemukan dalam Prasidang. Dari Prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain:
v     Konsiliasi: usaha perdamaian antara dua pihak. Metode konsiliasi ditempuh jika pihak konsumen dan pengusaha bersedia melakukan musyawarah untuk mencari titik temu dengan disaksikan majelis hakim BPSK. Dalam hal ini, majelis hakim BPSK bersikap pasif.
v     Mediasi: negosiasi yang dimediasi oleh BPSK. Kedua belah pihak melakukan musyawarah dengan keikutsertaan aktif majelis hakim BPSK, termasuk memberikan penetapan.
v     Arbitrase: kedua belah pihak menyerahkan sepenuhnya kepada arbiter. Konsumen akan memilih salah satu arbiter konsumen yang terdiri dari tiga orang, demikian pula pengusaha akan memilih satu arbiter pengusaha dari tiga arbiter yang ada. Sedangkan ketua majelis hakim BPSK adalah seorang dari tiga wakil pemerintah dalam BPSK.




Penyelesaian

Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK (SK No. 350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pasal 6). Putusan yang dikeluarkan BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan dikabulkan. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, berupa pemenuhan ganti rugi dan atau sanksi
administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (Pasal 40)
Selanjutnya sebagai percontohan maka dibentuklah BPSK di 10 kota besar melalui Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK Pada Pemerintahan Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar (Pasal 1 Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001). Dalam Kepres tersebut juga disebutkan bahwa biaya pelaksanaan tugas dan operasional BPSK dibebankan kepada APBN dan APBD(Pasal 1 Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001).
Dengan adanya UU PK dan didukung oleh keberadaan BPSK harusnya konsumen makin sadar akan hak-haknya.
UU PK telah mengatur parameter yang terlarang dilakukan oleh pelaku usaha antara lain :
ü         Barang tidak sesuai standar
ü         Info yang mengelabui konsumen
ü         Cara menjual yang merugikan
ü         Klausula Baku dari sebuah perjanjian









































BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sebagai konsumen kita mempunyai wewenang untuk bertindak apapun tetapi tetap tidak di luar batasannya apabila kita mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan atau perlakuan yang tidak adil. Sebagimana di jelaskan dari pembahsan di atas .
Pelanggaran hak-hak dasar konsumen–yang kemudian konsumen korban tidak akan pernah terjadi jika semua pihak (pemerintah dan pelaku usaha) serius menegakkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Serta dalam konteks kualitas pelayanan publik, pemerintah konsisten mengimplementasikan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mengamanatkan adanya standar pelayanan yang jelas yaitu standar pelayanan minimal. Tidak cukup bagi pemerintah piawai dalam membuat suatu undang-undang untuk melindungi konsumen dan publik secara luas, tapi kemudian kurang tegas dalam pengawasan serta penegakan hukumnya.

Saran
Bagi  pelaku bisnis tidak perlu melakukan tindakan kecurangan, karena para konsumen memiliki hak-hak yang dilindungi oleh Undang-Undang. Apalah arti sebuah keuntungan apabila merugikan banyak orang. Dan bagi konsumen, cermati terlebih dahulu dalam membeli suatu produk barang atau jasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar